Bulan Agustus 1940, dalam Perang Dunia
II, sebagian wilayah negara Belanda sudah dikuasai Jerman. Sebagai
jajahan Belanda, Indonesia dinyatakan berada dalam keadaan perang. Saat
itulah GAPI kembali mengeluarkan resolusi yang menuntut diadakannya
perubahan ketatanegaraan di Indonesia menggunakan hukum tata negara
dalam masa genting (Nood Staatsrecht). Isi resolusi tersebut adalah
mengubah Volksraad menjadi parlemen sejati yang anggotanya dipilih dari
rakyat dan mengubah fungsi kepala-kepala departemen menjadi
menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen. Resolusi
tersebut dikirimkan kepada Gubernur Jenderal, Ratu Wilhelmina, dan
Kabinet Belanda yang pada saat itu berada di London.
Setelah melalui perjuangan yang sangat
gigih, akhirnya pemerintah kolonial Belanda berjanji akan membentuk
komisi yang bertugas mengumpulkan bahan-bahan tentang perubahan
ketatanegaraan yang diinginkan oleh bangsa Indonesia. Pada tanggal 14
September 1940 dibentuk Commissie tot Berstudeering van
Staatsrechtelijke Hervormingen (Komisi untuk Menyelidiki dan Mempelajari
Perubahan-Perubahan Ketatanegaraan). Komisi ini dikenal dengan nama
Komisi Visman, diketuai oleh Dr. F.H. Visman. Pembentukan komisi ini
tidak mendapat sambutan dari anggota-anggota Volksraad, bahkan anggota
GAPI terang-terangan menyatakan tidak setuju. Ketidaksetujuan di
kalangan kaum pergerakan disebabkan berdasarkan pengalaman,
komisi-komisi yang dibentuk Belanda (contohnya, komisi sejenis pada
tahun 1918) tidak akan membawa hasil yang menguntungkan bagi Indonesia.
Pada saat yang bersamaan, Jepang telah
menduduki wilayah beberapa negara di Asia Tenggara. Kedudukan Belanda di
Indonesia pun terancam. Dengan kampanye 3A, kedudukan Jepang di Asia
makin kuat. Sementara itu, tindakan pemerintah kolonial Belanda yang
keras kepala semakin meyakinkan kaum pergerakan nasional bahwa selama
Belanda berkuasa, bangsa Indonesia tidak akan pernah memperoleh
kemerdekaannya. Akibatnya, kampanye Jepang yang mengumandangkan
kemerdekaan bangsa-bangsa Asia mendapat simpati yang besar dari rakyat
Indonesia.
Dalam rangka menguasai Indonesia, Jepang
menyerang markas-markas Belanda di Tarakan, Sumatra, dan Jawa. Pada
tanggal 8 Maret 1942, Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda Letnan
Jenderal H. Ter Poorten, atas nama Angkatan Perang Sekutu di Indonesia,
menyerah tanpa syarat kepada pimpinan tentara Jepang, Letnan Jenderal
Hitoshi Imamura. Penyerahan tanpa syarat tersebut ditandai dengan
persetujuan Kalijati yang diadakan di Subang, Jawa Barat. Isi
persetujuan tersebut adalah penyerahan hak atas tanah jajahan Belanda di
Indonesia kepada pemerintahan pendudukan Jepang. Artinya, bangsa
Indonesia memasuki periode penjajahan yang baru.
Meski kedatangannya, seperti juga
Belanda, adalah untuk tujuan menjajah, Jepang diterima dan disambut
lebih baik oleh bangsa Indonesia. Berikut alasan yang melatarbelakangi
perbedaan sikap tersebut.
- Jepang menyatakan bahwa kedatangannya di Indonesia tidak untuk menjajah, bahkanbermaksud untuk membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan Belanda.
- Jepang melakukan propaganda melalui Gerakan 3A (Jepang cahaya Asia, Jepang pelindungAsia, dan Jepang pemimpin Asia).
- Jepang mengaku sebagai saudara tua bangsa Indonesia yang datang dengan maksudhendak membebaskan rakyat Indonesia.
- Adanya semboyan Hakoo Ichiu, yakni dunia dalam satu keluarga dan Jepang adalah pemimpin keluarga tersebut yang berusaha menciptakan kemakmuran bersama.
Pemimpin-pemimpin pergerakan pun mau
bekerja sama dengan Jepang. Contohnya, Moh. Hatta dan Ir. Soekarno.
Meski keduanya terkenal sebagai tokoh nonkooperatif yang gigih, namun
mau bekerja sama dengan Jepang. Pertimbangannya, seperti diungkapkan
dalam biografi Soekarno yang ditulis Cindi Adams, adalah bahwa saat itu
Jepang sedang dalam keadaan kuat, sedangkan Indonesia sedang dalam
keadaan lemah. Untuk itu, Indonesia membutuhkan bantuan Jepang agar
dapat mencapai cita-cita.[pi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar